The Fireflies

lentera kecil yang berpendar di luasnya dunia


Kemiskinan adalah masalah yang tidak ada habisnya dibahas dari generasi ke generasi. Angka kemiskinan di Indonesia masih tetap tinggi mencapai 31,02 juta jiwa. Data statistik indonesia tahun 2009 menunjukkan 39,05 juta atau 17,5% dari seluruh rakyat Indonesia bertahan hidup dengan biaya kurang lebih Rp 5.128,-/hari. Bila dibandingkan dengan Malaysia maka jumlah orang miskin di Indonesia lebih banyak dari jumlah penduduk Malaysia. Dibanding Singapra maka sama dengan enam kali jumlah penduduk mereka, dan dengan Brunei Darussalam sebanding dengan delapan kali jumlah penduduk mereka.

Dalam melihat masalah kemiskinan secara multidimensional, maka kemiskinan dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu:
1.      Dimensi Makro: Kesenjangan Pembangunan ‘Desa’-‘Kota’.
Kesenjangan pembangunan antara ‘desa’ (daerah minus) dan ‘kota’ (daerah surplus) merupakan salah satu faktor penyebab utama terciptanya migrasi desa kota yang tak terkendali, yang sering juga disebut sebagai urbanisasi. Pemusatan pembangunan pada kota-kota besar membuat kota-kota besar semakin menjulang sedangkan daerah pedesaan menjadi terpinggirkan. Keadaan seperti ini sudah terjadi tahun 1970-an dan terakumulasi selama bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Keadaan seperti ini menyebabkan human capital yang potensial dari daerah pedesaan, yang seharusnya difokuskan untuk membangun daerah pedesaan justru ‘mengalir’ ke kota-kota besar dan mereka sebagian besar belum dapat berkompetisi dengan angkatan kerja yang mendapat pendidikan di kota tersebut.
Kesenjangan pembangunan desa dan kota bukan saja terlihat dari pembangunan fisik dan ekonomi saja, akan tetapi terlihat juga antara lain pada pembangunan sektor pendidikan, kesehatan, sosial, teknologi , dan juga sarana hiburan (rekreasional). Kesenjangan pembangunan ‘desa’–‘kota’ ini pada sisi berikutnya akan memunculkan kemiskinan yang multidimensi di mana masalah kemiskinan yang muncul tidak hanya terfokus pada satu dimensi pembangunan saja, akan tetapi sudah melibatkan berbagai dimensi pembangunan. Kesenjangan pembangunan selama 30 tahun lebih membuat masyarakat di daerah ‘lingkar luar pembangunan’ (yang sebagian merupakan daerah pedesaan ataupun beberapa daerah di luar jawa) menjadi semakin miskin, sedangkan mereka yang mempunyai akses terhadap pembangunan, termasuk di dalamnya aspek ekonomi dan kekuasaan menjadi semakin kuat. Sehingga pada titik tertentu, kemiskinan ini menjadi tenaga pendorong berpindahnya human capital dari daerah ‘lingkar luar pembangunan’ untuk masuk ke ‘pusat area pembangunan’.  Di sinilah semakin terasa migrasi desa-kota yang tak terkendali juga cenderung meningkatkan tingkat kejahatan di kota tersebut.
Oleh karenanya dibutuhkan suatu strategi pembangunan. dalam dimensi makro. Kota-kota besar di Indonesia seharusnya lebih banyak memfokuskan pada upaya membangun masing-masing kota dengan mengikutsertakan daerahdaerah ‘pemasok’ migran. Sehingga kerja sama dengan pemda dati II asal migran tersebut perlu dikembangkan. Konsekuensi dari hal ini adalah perlu dialokasikannya dana guna mengembangkan daerah asal migran tersebut. Tindakan menangkap gelandangan dan pengemis dan memulangkan mereka kembali ke daerah asal tidak akan dapat memecahkan masalah, karena mereka tidak merasakannya ada daya tarik dari daerah asal yang dapat mereka kembangkan.

2.      Dimensi Mezzo: Melemahnya Social Trust dalam Komunitas dan Organisasi.
Social Trust sebagai unsur pengikat suatu interaksi sosial yang ‘sehat’, dan menjadi bagian utama modal sosial, memainkan peranan penting dalam suatu upaya pembangunan. Pembangunan sulit dibayangkan akan berjalan mencapai hasil yang optimal bila tidak ada trust antarpelaku pembangunan itu sendiri. Social Trust itu bukan saja berada pada dimensi vertikal (misalnya antara pemerintah dengan warga masyarakat) tetapi juga harus ada pada dimensi yang horisontal (misalnya antarsuku yang ada di suatu komunitas). Hal ini pada akhirnya akan dapat melemahkan integrasi sosial pada komunitas, baik itu pada komunitas lokal, regional maupun nasional. Dalam suatu organisasi, melemahnya trust ini antara lain muncul karena adanya tenaga-tenaga yang dianggap tidak berkompeten tetapi muncul menempati posisi tertentu. Atau karena belum adanya sistem yang baik yang dapat menampung aspirasi dari para stakeholders dari organisasi tersebut. Melemahnya trust dalam komunitas dapat membuat masyarakat bertindak anarki. Misalnya saja, melemahnya kepercayaan terhadap penegakan hukum membuat masyarakat main hakim sendiri, dan membakar pelaku kejahatan di tingkat lokal. Melemahnya trust ini, seperti telah diuraikan sebelumnya, tidak jarang terkait dengan mentalitas korup yang ada pada sebagian pelaksana pembangunan, serta anggapan bahwa masyarakat itu bodoh dan akan menerima saja apa yang dikatakan. Padahal masyarakat itu juga belajar, dan salah satu yang dipelajari adalah menjadi korup. Sehingga yang terjadi adalah proses pembusukan yang terus menerus, yang pada sisi lain menimbulkan antipati masyarakat terhadap pelaku perubahan.

3.      Dimensi Mikro: Mentalitas Materialistik dan Ingin Serba Cepat (Instant).
Dimensi berikutnya yang menjadi salah satu akar masalah dalam pembangunan dewasa ini adalah berkembangnya mentalitas yang materialistik dan mentalitas ingin serba cepat (instant). Perkembangan mentalitas ini pada titik tertentu, menjadi sisi negatif yang akhirnya akan memunculkan mentalitas korup. Mentalitas korup sudah menjadi bagian kehidupan keseharian bangsa yang dapat dengan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dari mulai korupsi ‘kecil-kecilan’ ketika mengurus Kartu Tanda Penduduk, atau korupsi besar-besaran yang melibatkan uang ratusan milyar rupiah. Bencana banjir, penebangan hutan yang tidak terkendali, pengelolaan sampah dan limbah yang kurang profesional, penerimaan pegawai yang tidak berdasarkan kualitas, pemberian proyek pada rekanan yang kurang berkualitas, pemberian gelar yang memfokuskan pada aspek ekonomi tanpa melakukan edukasi, penyediaan sarana transportasi umum yang tidak memadai merupakan beberapa contoh sederhana buah dari mental korup ini. Hal yang semakin memperumit masalah adalah sudah terlatihnya para pelaku, sehingga serumit apa pun sistem dikembangkan akan selalu ada celah untuk melakukan korupsi. Akibat dari tindakan korupsi seperti ini, maka jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan cenderung semakin meningkat dari tahun ke tahun. Masalah lain yang muncul dari mentalitas materialistik dan ‘ingin serba cepat’ adalah lemahnya sumber daya manusia dan etos kerja kelompok masyarakat tertentu. Keinginan untuk mengembangkan budaya kerja dan kemampuan yang lebih baik seringkali hanya terbatas pada keinginan saja, tetapi belum pada tingkatan upaya merealisasikannya secara serius dan konsisten. Sehingga investasi di bidang pendidikan itu menjadi kurang diperhatikan. Hal yang muncul adalah menjadikan dunia pendidikan menjadi simbol, sehingga orang-orang berebut mendapatkan ‘gelar’ tetapi kurang memperhatikan (concern) dengan bertanggung jawab pada apa yang seharusnya ia kembangkan sejalan dengan bertambahnya ‘gelar’ tersebut. Sehingga yang terjadi adalah proses ‘penawaran gelar’ dan bukan proses pendidikan yang memberdayakan warga masyarakat. Sehingga pada titik berikutnya akan melemahkan kepercayaan (trust) masyarakat terhadap orang tersebut. Hal ini tentunya akan mempengaruhi dimensi pembangunan yang lain, yaitu dimensi mezzo dalam melihat permasalahan pembangunan dalam kaitan dengan kemiskinan (seperti sudah diuraikan di atas, yaitu melemahnya social trust pada komunitas dan organisasi).



Sumber: MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 9, NO. 1, JUNI 2005: 27-33
               Majalah “Empati”, vol. 8, No. 1. Januari 2011

0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berikan kritik dan saran anda :)

About Me

Foto saya
Semua orang datang dan pergi silih berganti. Ada yang mengajarkan sebuah pelajaran dan ada juga yang hanya meninggalkan kenangan. So i know the value of things, not the price, because everything is priceless.

Pengikut