The Fireflies

lentera kecil yang berpendar di luasnya dunia

OPENING
Ketimpangan sosial di negara berkembang seperti Indonesia merupakan suatu realitas faktual yang sudah sangat sering dibicarakan. Banyak tulisan dalam bentuk esai, makalah, atau karya tulis yang bersifat teknis akademis yang membicarakannya. Meski demikian, tidak dapat dikatakan bahwa masalah ketimpangan sosial di Indonesia sudah dapat teratasi. Bahkan kita harus jujur mengatakan bahwa persoalan ketimpangan sosial adalah sebuah agenda kemanusiaan yang sangat mendesak untuk segera diselesaikan.
Fenomena ketimpangan sosial di Indonesia merupakan suatu bahasan yang banyak dikaji pada ilmu sosial, namun terlepas dari hal itu fenomena tersebut dapat pula digambarkan dalam teks-teks sastra Indonesia mutakhir, dengan melihat relasi antara potret ketimpangan sosial tersebut dengan realitas. Untuk menjawab dua persoalan tersebut digunakan pendekatan sosiologi sastra dan semiotika. Hasil penelitian terhadap tiga teks sastra Indonesia yakni “Sajak Burung-Burung Kondor”, teks drama Konglomerat Burisrawa, dan novel Larung sebagai representasi teks-teks sastra Indonesia mutakhir terdapat benang merah tematik, yakni fenomena ketimpangan sosial.
Fenomena ketimpangan sosial dalam “Sajak Burung-Burung Kondor” disampaikan secara langsung dengan mengoposisikan perbedaan nasib yang dialami oleh dua kelas sosial.
Fenomenaket impangan sosial dalam Konglomerat Burisrawa disampaikan dalam bentuk komedi satire yang t idak bersifat langsung. 
Fenomena ket impangan sosial dalam Larung disampaikan untuk memperkuat ilustrasi cerita utama yang berfokus pada kisah-kisah romantik dan epik tokoh-tokohnya dalam memperjuangkan prinsip-prinsip hidup. 
Makna atas penggambaran fenomena ketimpangan sosial dalam ketiga teks sastra tersebut adalah sebagai refleksi literer atas fakta sosial yang ada.

TEORI
Menurut Abrams (1981:178) istilah sosiologi sastra terutama dikaitkan dengan tulisan-tulisan para kritikus dan ahli sejarah sastra yang perhatian utamanya ditujukan pada cara-cara seorang pengarang dipengaruhi oleh status kelasnya, ideologi masyarakat, keadaan-keadaan ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaannya, dan jenis pembaca yang dituju. Para ahli sosiologi sastra memperlakukan karya sastra sebagai karya yang ditentukan secara tidak terhindarkan oleh keadaan-keadaan masyarakat dan kekuatan- kekuatan zamannya, yaitu pokok masalahnya, penilaian-penilaian yang implisit dan eksplisit yang diberikan, bahkan juga dalam bentuknya (Pradopo, 2002:22).
Masalahnya disini adalah,  meskipun telah banyak teks sastra yang sangat kritis terhadap berbagai masalah ketimpangan sosial, seperti misalnya ketiga teks sastra di atas, pada kenyataannya masih sangat jarang penelitian yang mendalam dan serius terhadap teks-teks sastra yang dilakukan dalam kerangka untuk ikut memberikan kemungkinan alternatif dalam
menyelesaikan berbagai tragedi kemanusiaan yang sedang terjadi di negeri ini. Pemahaman terhadap hakikat sastra sebagai karya imajinatif telah membuat eksistensi karya sastra terbatas hanya dibaca sebagai karya yang berhubungan dengan khayalan seorang pengarang. Padahal, sebagaimana dikatakan Damono (1984:1—4) lahirnya karya sastra sesungguhnya tidaklah serta merta jatuh dari langit, tetapi lahir sebagai akibat dari hasil pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.

Oleh karenanya mencoba meneliti potret ketimpangan sosial sebagaimana yang terekam dalam teks-teks sastra Indonesia mutakhir merupakan suatu hal yang tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan menganalisis fenomena ketimpangan sosial tersebut dari perspektif nonliterer, seperti sosiologi, politik, antropologi, dan ekonomi.


(edited from jurnal POTRET KETIMPANGAN SOSIAL DALAM TEKS-TEKS SASTRA INDONESIA MUTAKHIR Potrait of Social Inequality in Indonesia Literary Contemporary Texts, Puji Karyanto, Jurusan Sast ra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga)



0 comments:

Posting Komentar

Silahkan berikan kritik dan saran anda :)

About Me

Foto saya
Semua orang datang dan pergi silih berganti. Ada yang mengajarkan sebuah pelajaran dan ada juga yang hanya meninggalkan kenangan. So i know the value of things, not the price, because everything is priceless.

Pengikut