Hello
world, good night from Indonesia, my beloved amazing country. Finally akhirnya
aku bisa mulai menulis lagi (yeii~).
Dan masih sama seperti yang sebelumnya, tulisannya gak jelas apa bentuknya
karena aku cuma pengen mengeluarkan apa yang ada di pikiranku. Biasanya sesuatu
yang disimpan terlalu lama akan menjadi basi lalu busuk dan jadi sumber
penyakit, jadi lebih baik kalau dikeluarkan dan diungkapkan pada seluruh dunia
(haha dunia yang mana ini?). Dan terimakasih sekali untuk blog yang bisa
menjadi trash box di saat-saat
darurat (but don’t worry, my trash is a
treasure, hahaha lol). So, anggaplah
saat ini aku sedang merangkai sisa-sisa memori dan imajinasi menjadi sebuah
karya fiksi lewat jari jemari yang menari (hmm tapi ini kan bukan cerita
fiksi?). Okayy it’s enough for
basa-basi gak jelas nya. Jadi kali ini aku cuma pengen
sedikit berbagai dan melanjutkan cerita perjalanan yang udah aku alami dan sekarang dia sudah jadi bagian dari memori.
Jadi
ceritanya beberapa hari yang lalu (tepatnya tanggal 12 Mei 2015 ± pukul 21.00
waktu Wonosobo) aku sama teman-teman habis muncak di Gunung Prau yang ada di
dataran tinggi Dieng, Wonosobo. And FYI itu
adalah my first experience mendaki
gunung yang sebenarnya (jadi ada gunung yg tidak sebenarnya?). Jadi biarpun
dulu di SMA aku ikut kelompok pecinta alam tapi ya aku belum pernah mendaki
gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera, bersama teman
bertualang (itu OST. Ninja Hatori guys).
Jadi dulu aku cuma ngapain? Ya paling cuma ikut kampanye go green di tengah kota dan mentok ikut repling di kali belakang sekolah (hahaha). Yah harap maklum karena aku kan anak kesayangan yang gak
boleh kecape’an dan main kotor-kotoran di gunung (red: punya ortu yg sangat
penyayang, red lagi: protective). Jadi
ketika akhirnya ada kesempatan muncak bareng teman-teman dan mengaplikasikan ilmu yang pernah didapat di masa lalu, itu mungkin rasanya ya
seperti yang digambarkan lagunya Diana Ross “If We Hold On Together”. Melakukan perjalanan dan petualangan
bareng sahabat kamu dan menghadapi hal-hal baru yang butuh pemecahan masalah. Menurutku semacam
mengajari kita untuk makin dewasa dan berlaku bijak.
“Valley.. Mountain.. There is a fountain.. Washes our tears all away.. Word are saying.. Someone is praying.. Please let us come home stay.. If we hold on together.. I know our dreams will never die.. Dreams see us through to forever.. Where clouds rool by.. For you and I..”
Okayy kita kembali lagi ke Prau (kembali ke topik bahasannya
yah bukan ke puncak nya, kalau sekarang di paksa muncak lagi aku mau ke Pak RT
aja bikin surat keterangan tidak mampu). Jadi perjalanan menuju puncak kali ini
merupakan something special for me. Spesial
karena itu pertama kalinya aku muncak setelah sejak dulu kepengen tapi gak
berani-berani mau melangkahkan kaki menyusuri jalanan berlantai batu dan tanah
yang beratapkan rimbun dedaunan dan gak jarang juga berselimut kabut tebal. Terus
spesial juga karena pemandangan amazing yang
disuguhkan Tuhan baik selama perjalanan maupun setelah terbitnya sang fajar.
Dan alasan yang paling penting ya karena muncak pertama ini bareng sama teman-teman spesial yang kece-kece
dan katanya yang cowo’ jadi pada kliatan macho kalau lagi muncak (ini katanya
Yunan, wkwkwk) (tapi emang semuanya jadi keliatan keren, mungkin semacam
auranya jadi lebih terlihat hahaha).
Terus kalau
diingat-ingat lagi sepertinya rencana muncak ke Prau itu sudah terdengar dari
sejak kami masih menyandang status sebagai mahasiswa semester akhir (itu pertengahan
tahun 2014 -_-) dan akhirnya bisa terlaksana setelah lebih dari setengah tahun
sejak rencana itu berdengung dan bergema. Hahaha benar-benar sesuatu yang harus
di syukuri karena rencana itu akhirnya sudah terlaksana menjadi realita dan
bukan sekedar wacana. Okay maybe apa
yang aku tulis ini nggak akan memberi kalian banyak informasi tentang Gunung
Prau, karena di sini aku pengen share
apa yang aku rasakan setelah melakukan pendakian pertama dan pengen
mengabadikan moment itu biar gak cuma hilang terbang melayang ke awang-awang
(toh udah banyak juga web dan blog lain yang ngasih info lengkap soal Prau dan
pendakian, hehehe). Dan maksud terselubung lainnya adalah biar mereka-mereka
yang belum pernah merasakan perjuangan menyusuri jalanan terjal demi melihat
kekuasaan Tuhan yang membentang sejauh mata memandang itu bisa lebih netral
lagi dalam menilai kami-kami yang telah jatuh cinta pada kecantikan Tuhan yang
terwujud dalam sebuah mahakarya besar yang disebut alam (di atas sana sumpah keren
banget guys, apalagi kalau pinter
milih waktu muncak nya).
“EARTH FROM ABOVE IS AMAZING”
Aku emang
belum banyak melakukan perjalanan apalagi pendakian (ya iyalah orang ini yang pertama, hahaha), but menurutku Gunung Prau dari kaki sampai puncaknya kemarin layak
untuk disebut sebagai little piece of
heaven (dan semua ciptaan Tuhan yang tetap terjaga menurutku pasti seindah
surga). Muncak kemarin aku sama
temen-temen lebih milih buat memulai pendakian pas malem-malem (mungkin biar
adem tapi gak kedinginan kena kabut sore). Kita berangkat dari base camp Prau di Desa Patak Banteng sekitar
jam 11 malem dengan jalan santai dan sering (banget) berhenti istirahat,
ibaratnya kayak angkot yang beroperasi di jam sepi penumpang jadi kebanyakan
berhentinya (ya harap maklum aja dari rombongan kita yang ber 8 ini ada 3 cewe’
kece yang masih newbie dan baru
pertama kali gendong carrier di
punggung cantiknya). So, awal
pendakian adalah masa-masa kritis yang harus dihadapi pendaki khususnya untuk
kita para pemula. Buat aku sendiri rasanya WOW banget ketika baru aja mulai
jalan eh begitu belok di tikungan tiba-tiba di hadapan kita sudah terpampang
nyata sangat jelas sekali ada tangga yang tersusun rapi dan menjulang tinggi
minta didaki (OMG). Alhasil baru mendaki beberapa belas anak tangga aja rasanya
udah amat sangat melelahkan dan sempat terpikir apa aku bisa sampai ke
puncaknya? Karena gak kebayang gimana cape’nya kalau ketinggian 2.565 mdpl
harus didaki lewat ribuan anak tangga (it’s
crazy dan cuma imajinasi ku aja kok hehe).
Dan awal
perjalanan yang rasanya sangat berat ini juga lah yang membuat kita bisa
melihat teman-teman kita dari sudut pandang yang lain. Di situasi itu para
cowo’ tiba-tiba menjadi semakin keren karena bisa jadi motivator handal yang
penyabar dan penyayang, sekaligus sepertinya mereka punya semacam super power
yang tiba-tiba bangkit karena tuntutan keadaan. Tiap kali kami para wanita
merasa lelah dan ingin berhenti sejenak maka mereka akan menunggu dengan penuh
kesabaran tanpa ada pemaksaan untuk melanjutkan perjalanan
dan waktu kita kelaparan di jalan pun disuruh istirahat sambil buka bekal dan
makan dulu, hahaha so switt (ya iyalah
harus gitu, kalau sampai kita pingsan emang ada yang mau gendong sampai puncak? bisa-bisa malah dibikinin tenda di pinggir jalan terus ditinggal muncak dan dijemput
waktu pulangnya, wkwk, yang begitu mah jelas bukan teman namanya). Mereka juga
keren bisa muncak dengan gendong dua carrier
(bergantian), padahal tubuh mereka begitu kurus (hehehe mungkinkah justru
itu yang bikin kuat?)
Seiring
berjalannya waktu dan semakin tingginya punggung gunung yang didaki maka rasa
lelah yang awalnya sangat berat pun sedikit demi sedikit mulai berkurang. Barangkali
tubuh sudah mulai beradaptasi dengan beratnya beban dan dinginnya malam. Langkah
kaki kadang terasa ringan dan kadang kembali memberat. Kadang jalan tempat kami
berpijak adalah lantai tanah yang dingin dan lembab setelah hujan sesorean,
lalu kemudian tanah itu berubah menjadi kerumunan bebatuan terjal yang
mengokohkan tubuh gunung. Dan di tikungan depan, bebatuan itu akan menghilang,
tertinggal jauh dibelakang dan segera digantikan jalinan akar-akar pepohonan tua
yang tumbuh menjulang membentuk barisan hijau penjaga pegunungan.
Begitulah
gunung itu berwujud, sebuah komposisi material alam yang saling kait mengkait
membentuk tempat berpijak yang begitu kokoh hingga mampu dijejaki ribuan pasang
kaki dari seluruh penjuru negeri. Jika ciptaanNya saja bisa sekuat itu maka
bagaimana dengan yang menciptakannya? Semua begitu menakjubkan dan kadang di luar
jangkauan nalar kita para makhluk kecil bernyali besar bernama manusia. Belajarlah
untuk bijaksana dalam menyikapi segala sesuatu maka kamu akan mendapatkan lebih
dari apa yang kamu mau (aku lagi menasehati diri sendiri).
Hadiah
berupa suguhan keindahan alam dari Tuhan pun semakin terasa ketika bumi yang
dipijak semakin meninggi. Angin mulai berhembus semakin kencang dan sesekali
petir menyambar dikejauhan. Menakutkan memang, namun juga menyenangkan. Tidak setiap
hari kita bisa merasakan dinginnya udara malam di tengah hutan pegunungan,
menyaksikan jutaan bintang bertebaran menjadi langit-langit alam dan hamparan kelap-kelip
lampu perkampungan dikejauhan. Ah betapa kecilnya kita di antara semua
kebesaran Tuhan ini, dan lantas apa yang hendak kita sombongkan jika begitu adanya?
“Kita hanyalah satu diantara banyak titik-titik kecil kebesaran Tuhan”
Ngomong-ngomong
maaf sekali kalau tulisan ini kesannya menggurui (padahal mendaki baru sekali
wkwkw), tapi maksud sebenarnya jelas bukan itu. Ini semua terjadi karena memang
perjalanan kemarin begitu mengesankan (maklum baru sekali muncak and i’m
falling in love). Banyak hal menakjubkan yang bisa kita lihat dari tempat
yang tinggi. Ketika perjalanan pendakian berakhir di puncak dan kita melihat
tenda-tenda pendaki lain (ngomong-ngomong kami pendaki terakhir malam itu dan
sampai di puncak hampir jam 3 pagi wkwkwk asik bingit lho mendaki hampir 4 jam
:P ) saat itu kita akan merasa begitu bahagia dan bersyukur karena telah sampai
di tujuan (dan puas tentunya). Bisa diibaratkan dengan seorang musyafir yang telah
lama berkelana di padang gurun gersang dan tiba-tiba menemukan sebuah oasis
dengan pohon-pohon palm disekelilingnya sebagai tempat beristirahat (maaf kalau
alay). Beberapa orang bilang puncak itu bukan tujuan (bonus kalau kata Yunanta
haha) dan itu memang benar, tapi ketika kita bisa mencapai puncak, sebenarnya banyak sekali pelajaran yang
kita dapat (untuk mereka yang mau belajar). Rasanya menyenangkan sekali ketika
akhirnya bisa menanggalkan beban berat di pundak, bisa meluruskan kaki yang
lelah menyusuri rimba dan bebatuan, bisa menghirup udara segar yang jauh dari
kata polusi dan bisa menyaksikan ribuan bintang tanpa terhalang gedung
bertingkat perkotaan. Dan bahkan jika mendaki pada bulan-bulan tertentu katanya kita bisa melihat milky way dari puncak Prau (kata adek yang beberapa kali muncak ke Prau). Yah itu baru sebagian kecil bukti keagungan
Tuhan yang muncul dikala malam. Dan ketika sang fajar mulai bersinar?
“it’s amazing, alam semesta berbicara tanpa suara”
Menjelang pagi
maka saatnya moment yang paling ditunggu atau mungkin tujuan utama dari
sebagian besar pendaki, sunrise. Jika
bisa memilih waktu pendakian yang tepat maka kamu akan mendapatkan pemandangan
yang sempurna. Pagi itu kami disambut matahari yang terbit dengan cantiknya
(meskipun kami yakin dia belum mengeluarkan seluruh pesonanya). Menyaksikan pergantian
warna dunia dari yang semula gelap gulita menjadi penuh warna tentu merupakan
sebuah momen berharga. Dengan tersingkapnya kegelapan maka sedikit demi sedikit
mulai nampak deretan gunung-gunung yang membentang jauh membentuk barisan
penghias alam. Kaki-kaki mereka hilang tertutup lautan awan, hanya puncaknya
yang nampak dikejauhan seperti pulau-pulau kecil yang mengapung dan mengambang. Sementara dibentangan
yang lebih dekat terlihat gundukan-gundukan bukit teletubies yang serupa
tempurung kura-kura. Mempercantik lukisan alam yang membentang di sepanjang kaki langit yang biru berawan.
Dan tempat
kami berpijak serta semua gundukan bukit Teletubies itu merupakan sebuah padang sabana luas
dengan semak belukar dan pepohonan di sisi-sisi nya. Setiap kali mendaki
gundukan bukit yang berbeda maka akan tersaji pemandangan yang berbeda juga. Satu
puncak bukit menampilkan pemandangan deretan gunung dan bukit lain, berpindah
ke puncak lain maka nampaklah kota-kota yang tak terdengar lagi suara bisingnya,
mendaki bukit lain ternyata dibaliknya ada telaga yang terbentang jauh di bawah
sana. Sebuah perpaduan warna kehidupan yang sempurna. Hidup bukanlah hitam
dan putih, ada banyak warna di luar sana. Kalau kata Louis Armstrong “What a wonderful world”.
“i see trees of green, red roses too.. I see them bloom for me and you.. And i think to myself what a wonderful world.. I see skies of blue and clouds of white.. The bright blessed the day, the dark scared night..”
Setelah puas
memanjakan mata menikmati kemewahan potongan surga dunia, maka agenda selanjutnya adalah
mengisi tenaga untuk perjalanan pulang. Menurut ku di atas sana kita belajar
hidup sederhana di antara kemewahan, dan yang lebih terasa lagi tentu suasana
kekeluargaannya (mengutip pm nya ais “terimakasih alam yang telah mendekatkan
kita”). Di gunung kita hanya makan secukupnya sebatas agar bisa menempuh
perjalanan pulang, kita berbagi apa yang kita miliki, dan yang
paling penting adalah kita memegang gadget hanya ketika sesi foto-foto (kalau ngumpul-ngumpulnya gak di gunung yakin masih bisa gitu? Hahaha).
Dan setelah
tenaga pulih kembali (baik jasmani maupun rohani) maka tiba waktunya untuk
berkemas pulang. Setelah semua perlengkapan berhasil dikemas maka jangan pernah
lupa pungut dan BAWA TURUN SAMPAH MU. Jangan sampai anak cucu kita nanti tidak
sempat menyaksikan semua keindahan alam pegunungan yang diciptakan Tuhan dan
justru malah gunungan sampah yang kita wariskan. Di Prau kemarin juga masih ada
sampah-sampah yang tidak di bawa turun dan agak merusak pemandangan. Ini sesuatu
yang sangat disayangkan.
Perjalanan
pulang juga adalah bagian yang menyenangkan dari sebuah pendakian. Pemandangan yang
tidak nampak selama keberangkatan akhirnya tersingkap diperjalanan pulang. Hamparan
sawah, hutan, rumah penduduk dan telaga-telaga nampak indah dan saling terhubung oleh kelokan jalan beraspal yang panjang mengular. Pemandangan indah yang
menjadi suplemen tambahan untuk menempuh perjalanan. Perjalanan pulang juga
semakin menyenangkan karena bertemu banyak orang yang semua terlihat senang,
meskipun kadang terlihat sekali kalau mereka kelelahan memanggul beban (mungkin kelelahan itu tidak terlalu terasa karena pengaruh energi positif dari alam). Semua orang saling menyapa dan memberi
dukungan (dan bukankah itu menyenangkan?).
Jika hanya dari
membaca tulisan ini, kalian yang belum pernah mencicipi tidur ditengah pelukan alam mungkin akan merasa biasa saja. Karena memang jelas apa yang aku tulis belum sekeren apa yang ada di lapangan (karena aku juga gak pinter promosi). Tapi
paling tidak kalian jadi punya gambaran tentang apa yang akan kalian temui jika
nanti sudah punya nyali untuk mendaki. Alam itu indah, alam juga sangat kuat. Kita
sebagai manusia jelas akan kalah kalau sampai berani menantang alam. Maka jadikanlah
alam sebagai sahabat yang ingin kamu kenal lebih dekat, bukan sebagai musuh
yang harus ditaklukkan. Dan yang terpenting alam itu bukan tempat kita bisa
berbuat seenaknya, kesalahan kecil bisa membuat kita celaka. Jadi selalu
utamakan keselamatan dan bukan keren-kerenan. Dan yang pasti menjelajahi gunung perlu persiapan yang matang, karena ini adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Jika salah langkah maka nyawa pun bisa terbang melayang menuju sang Maha Penyayang. Dan juga selalu ingat pesan yang
mungkin sudah berkali-kali kalian temui ini “jangan meninggalkan apapun kecuali
jejak, jangan mengambil apapun kecuali kenangan (foto), jangan membunuh apapun
kecuali waktu”.
Jadi
betapa perjalanan pendakian itu sangat mirip dengan alur perjalanan hidup
manusia. Kita menentukan gunung mana yang akan didaki, mempersiapkan perbekalan
dan fisik sesuai kondisi medan dan kemudian memulai perjalanan itu. Di perjalanan
pun tidak semuanya berjalan mudah atau selalu sesuai skenario, ada faktor alam
yang pada akhirnya ikut mempengaruhi proses dan hasil perjalanan kita. Sama saja
kan dengan kehidupan yang tidak selalu sesuai rencana? Lalu beban di pundak
serta jalanan terjal yang harus ditempuh juga sama persisnya dengan laju
kehidupan yang kadang timbul tenggelam. Dan setelah melewati proses dan jalan yang berat maka berhasillah kita mencapai tempat tujuan. Bersuka cita untuk sebuah keberhasilan. Namun
ingat juga bahwa kita harus segera pulang agar tidak kehabisan perbekalan. Pulang
kembali ke tempat dari mana kita berasal. Gunung dan semua tempat dimana pun sebenarnya tak ubahnya seperti
kehidupan kita, bukan sebuah tempat tinggal yang kekal, hanya sebuah tempat
singgah mewah yang kadang mengundang kekaguman.
“di atas sana kita tidak tahu apakah kita benar-benar bermaksud membuat sebuah kenangan, yang kita tahu kita telah bersenang-senang”
*kenapa tempat itu adalah sebuah little piece of heaven?
karena itu adalah tempat indah yang aku kunjungi di saat yang tepat bersama orang-orang istimewa...
dan bukankah point terakhir itu yang menjadikannya sempurna?
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan kritik dan saran anda :)