The Fireflies

lentera kecil yang berpendar di luasnya dunia


Kebudayaan merupakan sebuah produk yang selalu ada di dalam sebuah masyarakat. Setiap masyarakat tersebut mengembangkan sebuah kebudayaan yang mengandung unsur-unsur khas daerahnya masing-masing. Unsur khas tersebut merupakan sebuah keunikan yang tidak bisa ditemukan pada kebudayaan masyarakat lain. Selain memiliki sebuah ciri khas, masyarakat juga menciptakan kebudayaan dengan memasukkan berbagai unsur nilai dan moral yang dianggap baik oleh masyarakat. Nilai-nilai ini pada akhirnya akan menambah nilai kebudayaan tersebut sebagai sebuah kearifan lokal yang harus dilestarikan.

Budaya dan kearifan lokal merupakan sebuah kekayaan warisan nenek moyang yang dapat ditemui di dalam setiap masyarakat. Salah satunya adalah pada masyarakat di Kabupaten Wonosobo. Wonosobo merupakan salah satu kota pegunungan di Provinsi Jawa Tengah yang masyarakatnya memiliki banyak keunikan dan tradisi.
Salah satu kebudayaan asli masyarakat Wonosobo yang saat ini menjadi sebuah tradisi rutin masyarakat adalah Tradisi Ruwatan. Tradisi ini lahir dalam bentuk sebuah upacara pencukuran rambut gembel/ gimbal pada anak-anak di salah satu wilayah di dataran tinggi Dieng. Tradisi ini telah diwariskan sejak zaman dahulu oleh nenek moyang.

Munculnya tradisi ini sangat berkaitan erat dengan sejarah asal mula berdirinya Kabupaten Wonosobo. Khususnya berkaitan dengan para pendiri Kabupaten Wonosobo. Nama Wonosobo berasal dari kata “Wono” yang berarti hutan, dan “Sobo” yang artinya dikunjungi, jadi secara bahasa Wonosobo berarti hutan yang dikunjungi.
Munculnya tradisi Ruwatan ini sangat berkaitan erat dengan salah satu tokoh pendiri Wonosobo. Berdirinya kota ini sangat terkait erat dengan perkembangan kekuasaan Mataram Islam. Wonosobo didirikan oleh tiga orang kyai yang merantau bersama sanak keluarganya pada sekitar abad ke 17. Mereka adalah Kyai Karim, Kyai Walik, dan Kyai Kolodete. Tiga kyai ini adalah para penyebar agama Islam di Wonosobo. Mereka membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal di tiga wilayah yang berbeda.
Kyai Kolodete adalah tokoh yang mewariskan tradisi Ruwatan kepada masyarakat sekarang ini. Kyai Kolodete membuka wilayah di daerah pegunungan Dieng. Dieng saat ini merupakan salah satu tempat tujuan wisata yang banyak dikunjungi karena memiliki panorama alam pegunungan yang indah. Hal ini sesuai dengan namanya “Dieng” yang berasal dari kata dalam bahasa kawi “Di dan Hyang”. “Di” berarti tempat atau gunung dan “hyang” berarti dewa. Jadi Dieng berarti tempat yang tinggi yang menjadi tempat bersemayam para dewa. Hal ini karena memang Dieng berada pada ketinggian rata-rata lebih dari 2000m di atas permukaan laut.
Selain daya tarik alam yang indah, Tradisi Ruwatan juga merupakan salah satu daya tarik lain yang membuat Dieng banyak dikunjungi wisatawan. Tradisi ruwatan merupakan tradisi pencukuran rambut gembel pada anak-anak yang berada disebagian wilayah Dieng yaitu tepatnya di daerah Tieng. Banyak anak-anak asli daerah tersebut yang memiliki rambut gimbal. Pada saat dilahirkan anak-anak tersebut belum memiliki rambut gimbal atau dengan kata lain seperti anak pada umumnya. Namun dalam rentan usia anatara 40 hari hingga 6 tahun rambut anak-anak tersebut dengan sendirinya menjadi gimbal.
Rambut gimbal ini terbentuk dengan diawali gejala demam yang diderita anak-anak tersebut. Mereka mengalami panas tinggi selama beberapa waktu, dan penyakit ini tidak dapat disembuhkan melainkan akan sembuh dengan sendirinya. Namun setelah si Anak sembuh maka rambutnya telah gimbal atau menggumpal dan saling menempel seperti rambut kusut yang tidak terawat. Selain itu anak gimbal tersebut kadang bertingkah tidak seperti anak-anak pada umumnya dan dikenal penyendiri. Masyarakat sekitar meyakini bahwa mereka menyendiri karena mereka memiliki teman gaib.
Menurut cerita masyarakat Dieng, anak-anak gimbal tersebut merupakan titisan dari Kyai Kolodete. Anak-anak tersebut dianggap akan membawa bala atau kesialan. Kesialan tersebut akan hilang dan berganti menjadi rizki ketika anak telah dicukur atau diruwat. Seorang anak akan diruwat ketika dia sendiri yang memintanya. Hal ini dikarenakan bila ruwatan dilakukan bukan atas permintaan dari si Anak maka rambut yang tumbuh nantinya akan gimbal lagi.
Sebelum diruwat seorang anak akan mengajukan suatu permintaan pada orang tuanya. Permintaan ini biasanya berupa sebuah barang dan terkadang bisa dikatakan berupa sesuatu yang aneh. Permintaan ini biasanya tidak pernah berubah. Permintaan ini harus dituruti oleh orang tuanya karena bila ruwatan dilakukan tanpa memenuhi permintaan yang diajukan anak, maka saat tumbuh rambutnya akan gimbal lagi.
Upacara ruwatan ini dilakukan melalui beberapa tahapan prosesi. Prosesi dalam upacara Ruwatan merupakan sesuatu yang menarik bagi banyak masyarakat dan wisatawan. Adanya daya tarik ini membuat pemerintah memasukkan upacara ruwatan sebagai acara puncak dalam agenda tahunan di bidang pariwisata yaitu “Dieng Culture Festival”.
Dimasukkannya tradisi ruwatan dalam rangkaian acara “Dieng Culture Festival” telah membuat tradisi ini menjadi memiliki nilai sosial ekonomis yang lebih besar bagi pemerintah dan masyarakat. Sebelumnya ruwatan dilakukan oleh masyarakat secara mandiri dengan waktu yang tidak ditentukan. Ruwatan yang dilakukan sendiri oleh masyarakat membutuhkan banyak biaya dan kadang terasa berat. Adanya ruwatan masal dalam “Dieng Culture Festival” membuat masyarakat tidak perlu lagi mengeluarkan biaya karena semua biaya telah ditanggung pemerintah.
Rangkaian prosesi upacara ruwatan ini dimulai dengan ritual doa dibeberapa tempat yang memiliki nilai sakral di Dieng dengan maksud agar acara dapat berjalan lancar. Tempat-tempat tersebut adalah Candi Dwarawati, komplek Candi Arjuna, Sendang Maerokoco, Candi Gatot Kaca, Telaga Balai Kambang, Candi Bima, Kawah Sikidang, komplek Pertapaan Mandalasari (gua di Telaga Warna), Kali Pepek, dan pemakaman Dieng. Kemudian pada malam harinya akan diadakan Jamasan Pusaka atau mencuci pusaka yang dibawa saat kirab anak-anak rambut gimbal pada keesokan harinya.
Keesokan harinya kirab dimulai dari rumah sesepuh pemangku adat yang juga pemimpin dalam prosesi ruwatan. Di rumah tersebut dipersiapkan juga berbagai sesaji seperti tumpeng dengan beberapa warna, jajanan pasar, bubur nasi, ayam panggang, dan juga kembang setaman. Selanjutnya anak-anak akan dikirab dengan rute menyusuri perkampungan Dieng Kulon dan melewati Jalan Raya Dieng. Arak-arakan kirab tersebut akan berakhir di kompleks Candi Arjuna, tepatnya di Sendang Maerokoco atau Sendang Sedayu.
Selama dikirab anak-anak tersebut didampingi oleh para sesepuh, tokoh masyarakat, dan juga kelompok-kelompok kesenian tradisional yang ada di Dieng. Anak-anak yang akan diruwat biasanya berpakaian adat jawa dan memakai ikat kepala berwarna putih. Mereka diarak dengan menaiki andong dan diiringi para penari dan pemain barongsai.
Setelah arak-arakan sampai di dekat Sendang Maerokoco, anak-anak tersebut akan dimandikan.  Mereka masuk ke sumur Sendang Sedayu dengan dilindungi payung Robyong dan kain panjang di sekitar sendang. Setelah itu mereka akan dikawal menuju tempat pencukuran di depan Candi Arjuna. Dalam upacara pencukuran tersebut ada persembahan sesajian berupa kepala ayam, tempe gembus, kambing etawa, dan berbagai hasil bumi dari Dieng.
Sebelum anak-anak tersebut dicukur, terlebih dahulu akan ditampilkan berbagai kesenian tradisional. Setelah itu mereka akan dicukur satu persatu oleh tokoh masyarakat dengan didampingi pemangku adat. Selanjutnya upacara dilanjutkan dengan menyerahkan benda atau permintaan yang sebelumnya telah diminta anak-anak tersebut. Prosesi ini diakhiri dengan para abdi upacara akan melarung potongan rambut gimbal di Telaga Warna yang akan mengalir ke Sungai Serayu dan berhilir di Pantai Selatan. Pelarungan ini berarti bahwa segala kesialan yang dibawa si Anak telah dibuang/ dikembalikan pada Dewa. Masyarakat percaya bahwa anak-anak gimbal tersebut sebelumnya ditunggui makhluk halus. Dan pemotongan rambut tersebut akan mengusir makhluk tersebut dari tubuh si anak sehingga rezeki akan datang.

Kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib dan irasional dalam upacara ruwatan merupakan sebuah budaya yang terus dilestarikan oleh masyarakat. Keyakinan masyarakat terhadap suatu hal merupakan sebuah kearifan lokal yang mungkin tidak bisa ditemukan pada masyarakat lain atau mungkin muncul dalam wujud berbeda pada masyarakat dan waktu yang berbeda. Dalam tradisi Ruwatan itu sendiri nampak bahwa masyarakat masih sangat mempercayai adanya hal-hal gaib dan diluar rasio akal manusia. Keyakinan dan upaya masyarakat untuk terus melestarikan budaya warisan nenek moyang menunjukkan bahwa kuatnya arus modernisasi dan globalisasi tidak lantas melunturkan nilai-nilai budaya dan moral yang telah ada sejak dulu.
Saat ini upacara cukur rambut atau ruwatan ini telah dimasukkan dalam acara tahunan “Dieng Culture Festival” yang diselenggarakan pada bulan Juli dan Agustus. Selain ada pelaksanaan upacara ruwatan, dalam event ini juga ada pameran produk khas dieng. Festival juga dimeriahkan dengan festival seni dan budaya, dimana berbagai kesenian tradisional ikut meramaikan acara. Berbagai atraksi seni yang ditampilkan misalnya warok, lengger, tek-tek, rampakyaksa, barongsai, angklung, dll.
Adanya tradisi ini memberikan banyak dampak positif pada masyarakat, pemerintah, dan wisatawan. Masyarakat berkesempatan mengenalkan budayanya pada dunia luar tanpa perlu mengeluarkan terlalu banyak biaya, selain itu ada pendapatan tambahan yang diperoleh masyarakat dari adanya event tersebut. Bagi pemerintah, hal ini akan menjadi sumber pendapatan daerah, terlebih ketika dikemas dalam event budaya seperti “Dieng Culture Festival”. Hal ini juga bisa menjadi sarana menjalin kerjasama dengan daerah/ instansi lain. Sementara para wisatawan mendapat hiburan dan pengetahuan tambahan tentang tradisi ruwatan pada masyarakat Dieng.

1 comments:

wonosobo istimewa (y)

Posting Komentar

Silahkan berikan kritik dan saran anda :)

About Me

Foto saya
Semua orang datang dan pergi silih berganti. Ada yang mengajarkan sebuah pelajaran dan ada juga yang hanya meninggalkan kenangan. So i know the value of things, not the price, because everything is priceless.

Pengikut