Abstraksi
Perkembangan kebudayaan masyarakat tidak
hanya sebatas pada hal-hal yang dapat diamati dan dipahami secara rasional.
Kepercayaan masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa juga mampu menciptakan sebuah
kebudayaan spiritual. Kebudayaan spiritual memiliki struktur dan komponen yang
sama kompleksnya dengan kebudayaan umum di masyarakat.
Agama Malim merupakan sebuah bentuk
budaya spiritual lokal yang muncul pada masyarakat Suku Batak sepeninggal Sisingamangaraja
XII. Sebagai agama lokal, Agama Malim memiliki semua komponen umum sebuah
agama.
Kosmologi dan ajaran Agama Malim telah
membentuk sebuah falsafah sosial yang dipegang teguh oleh penganutnya.
PEMBAHASAN
1.
Teori
Asal Mula Agama
Pemaknaan
agama secara sederhana dikemukakan oleh Tylor yang kemudian dikenal sebagai
teori “asal mula agama”, yaitu bahwa asal mula agama pada awalnya berangkat
dari kesadaran manusia akan adanya jiwa. Menurutnya transformasi kesadaran
manusia terhadap adanya jiwa telah mendorong pada munculnya keyakinan pada
adanya makhluk-makhluk halus yang mendiami alam sekeliling manusia (animisme)
dan menurutnya ini adalah bentuk agama yang tertua. Selanjutnya muncullah
konsep Dewa sebagai bentuk personifikasi jiwa alam.
Teori
lain tentang asal mula agama muncul dari Frazer, teorinya dikenal dengan teori
“batas akal”. Menurut Frazer agama berawal dari ketidakmampuan manusia
memecahkan masalah hidupnya karena adanya keterbatakan akal dan pengetahuan. Menurut
Frazer agama adalah sistem tingkah laku untuk mencapai suatu maksud dengan cara
menyandarkan diri kepada kemauan dan kekuasaan makhluk-makhluk halus seperti
ruh, dewa, yang mendiami alam ini.
Dari
dua teori tadi terdapat kesamaan bahwa agama mengandung suatu kecenderungan
batin manusia untuk berhubungan dengan kekuatan yang terdapat dalam alam
semesta guna mencari makna dari sesuatu yang berbeda sama sekali dari apa yang
dikenal dan dialami manusia. Jadi dalam diri manusia terdapat suatu naluri
keberagamaan yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan kekuasaan yang
berada di luar dirinya.
Hubungan
antara manusia dengan kekuasaan di luar dirinya dalam agama didasarkan pada
keyakinan dan kepercayaan tanpa memandang apakah budayanya masih sederhana atau
sudah maju. Perwujudan umum atas suatu kepercayaan biasanya berupa sebuah
upacara (ritual) atau pemujaan sesuai ajaran dalam agama atau kepercayaan
tersebut.
Para
ahli juga membagi agama menjadi dua kategori, yaitu agama budaya dan agama
langit (wahyu). Agama Malim dapat digolongkan sebagai agama budaya, yaitu agama
yang dibentuk oleh falsafah masyarakat atau boleh juga karena anjuran dari
tokoh atau pemimpin masyarakat di suatu suku bangsa. Menurut Koentjaraningrat
dan Malinowski dalam Ibrahim (2010: 22)
“Dalam setiap agama suku atau agama budaya
semua bentuk dan ragam kepercayaan itu biasanya dijelaskan dalam mitologi
masyarakatnya baik secara tertulis maupun tidak. Mitologi itulah dianggap
sebagai rujukan yang dapat menerangkan dan menguatkan kepercayaannya tentang
peristiwa-peristiwa masa lalu seperti proses penciptaan dewa-dewa, kejadian
alam semesta, bumi, dan lain sebagainya. Kepercayaan itu diintegrasikan dalam
dongeng-dongeng dan aturan-aturan. Dongeng-dongeng dan aturan-aturan ini
biasanya dianggap bersifat keramat dan merupakan kesusasteraan suci dalam
sesuatu agama.”
2.
Sejarah
Lahirnya Agama Malim
Ratusan
tahun sebelum agama-agama besar seperti Islam dan Kristen memasuki tanah Batak,
sebenarnya masyarakat setempat telah memiliki sebuah kepercayaan. Masyarakat
Batak telah mempercayai adanya Tuhan Yang Maha Esa yang mereka sebut dengan Debata Mulajadi Nabolon. Kepercayaan ini
telah ada sejak masa Siraja Batak namun belum disebut sebagai agama.
Meski
dimasa lalu Suku Batak dapat dikatakan dalam keadaan tidak beragama (pagan),
namun menurut Vergouwen dalam Ibrahim (2010: 76) disebutkan bahwa “paganisme orang
Batak adalah suatu campuran dari kepercayaan-kepercayaan kepada Debata,
pemujaan yang bersifat animisme terhadap ruh-ruh yang sudah meninggal dunia dan
dinamisme.” Perpaduan tiga unsur keagamaan tersebut tidak dapat saling
dipisahkan dalam setiap acara adat orang Batak.
Menurut
kepercayaan dalam agama Malim, ajaran keagamaan ini dibawa oleh utusan Debata Mulajadi Nabolon dan mereka
disebut malim Debata. Diketahui ada
empat malim Debata yang menyebarkan ajaran ini secara bertahap selama 400
tahun. Mereka adalah Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Sisingamangaraja, dan Raja
Nasiakbagi. Namun pada tiga masa penyebaran pertama, kepercayaan ini belum
disebut sebagai sebuah agama. Keberadaan Agama Malim baru sebatas sebuah
kepercayaan yang didalamnya ada amalan-amalan (ritual) sebagai sarana
penghubung manusia dengan Debata dan hal-hal spiritual lain.
Raja
Uti sebagai Malim Debata pertama membawa misi untuk mengembalikan suku Batak
agar berketuhanan dan sekaligus memberikan pedoman hidup atau falsafah. Selanjutnya malim Debata kedua yaitu
Simarimbulubosi bertugas untuk memantapkan keimanan suku Batak agar tetap
berketuhanan kepada Debata Mulajadi Nabolon. Malim Debata berikutnya yaitu Raja
Sisingamangaraja. Tugasnya adalah menetapkan adat, patik, dan uhum (hukum) bagi
suku Batak sebagai panduan hidup dalam bermasyarakat. Raja Sisingamangaraja
terdiri dari Sisingamangaraja I hingga XII. Setelah Sisingamangaraja XII wafat
karena perang melawan Belanda, posisi Malim Debata digantikan oleh Raja
Nasiakbagi. Sebagai seorang raja beliau tidak lagi memegang puncak kekuasaan
kerajaan, beliau lebih memfokuskan diri pada pembinaan ruhani umatnya yaitu
mengajarkan hamalimon (keagamaan).
Pada
salah satu pertemuan yang diadakan Raja Nasiakbagi, dia berkata “malim ma hamu” (malimlah kalian).
Kalimat itu bermakna “sucilah kamu atau
senantiasalah suci dalam keagamaan”. enagn adanya pengarahan ini, maka
sejak itu pulalah ajaran yang dibawanya resmi dan populer disebut agama Malim
(Ibrahim, 2010: 95).
Adanya
penetapan atau pengakuan terhadap agama Malim ini dilakukan untuk beberapa hal.
Pertama penetapan kepercayaan sebagai agama akan membuat keimanan pengikutnya
semakin kuat. Alasan kedua adalah untuk menunjukkan eksistensi agama Malim
sebagai sebuah ajaran warisan nenek moyang kepada dunia luar dan juga agama
pendatang. Hal ini terkait erat dengan semakin kuatnya arus kristenisasi yang
saat itu masuk ke tanah Batak. Pengikut agama Malim merasa khawatir jika agama
Kristen akan mengancam keberadaan agama Malim diwaktu yang akan datang. Saat
ini setelah Raja Nasiakbagi tiada, penyebaran agama Malim di wariskan kepada
murid setianya,Raja Mulia Naipospos.
3.
Kosmologi
Agama Malim
Kosmologi agama Malim
diuraikan bukan dengan bersumber pada sebuah kitab suci melainkan berasal dari
mitologi Batak. Mitologi ini telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan
diwariskan turun temurun secara lisan hingga saat ini. Mitologi ini juga
menjadi dasar dalam kepercayaan agama Malim.
a. Pandangan
tentang Alam Semesta
Sama
dengan mitologi Batak, Agama Malim juga membagi dunia menjadi tiga bagian besar,
yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Tiga benua tersebut
dipercaya sebagai ciptaan Tuhan Debata Mulajadi Nabolon yang dianggap memiliki
sifat maha pencipta dan maha menjadikan.
Banua
Ginjang diartikan sebagai “langit” dan semua hal didalamnya yaitu matahari,
bulan, bintang, dan planet lainnya. Penciptaan Banua Ginjang ini tidak
diketahui siapapun dan diyakini merupakan rahasia dari sang Debata. Dalam agama Malim dijelaskan bahwa setelah Banua
Ginjang diciptakan maka Debata menciptakan dua hal yang disebut dengan sahala ama dan sahala ina (Ibrahim, 2010: 98) :
“Sahala dalam kepercayaan agama Malim
adalah merupakan ruh (tondi), sedangkan pengertian sahala ama adalah ruh yang
dilambangkan menyerupai bapak (marrupahon
ama) dan sahala ina adalah ruh yang dilambangkan menyerupai ibu (marrupahon ina). Tetapi baik sahala ama
maupun sahala ina tidak boleh disebut berjenis kelamin laki-laki dan perempuan
karena kedua-duanya hanyalah berupa ruh yang tidak berbentuk kasar atau
mempunyai fisik. Penggunaan istilah ama dan ina terhadap kedua ruh itu hanyalah
sebagai simbol yang menggambarkan bahwa keduanya tidak berjenis sama...”
Dari
sahala ama dan sahala ina Debata kemudian menciptakan para pembantunya yang
disebut dewa, yaitu Bataraguru, Sorisohaliapan (Sohaliapan), dan Balabulan
(Mangalabulan). Ketiganya kemudian disebut sebagai Debata Natolu (Debata yang Tiga). Mereka adalah perpanjangan tangan
dari sang Debata dan secara umum bertugas memberi kesejahteraan pada manusia.
Namun secara khusus mereka juga memiliki tugas masing-masing.
Bataraguru
bertugas menjadi sumber pemberi keadilan, hukum kerajaan, kearifan dan
pengetahuan bagi manusia yang dilambangkan dengan warna hitam. Sorisohaliapan
yang dilambangkan dengan warna putih merupakan sumber hukum kesucian, hamalimon (keagamaan), kebenaran, dan
kemuliaan. Sementara Balabulan adalah pemberi kekuasaan, hagogoon (kekuatan) dan kesaktian bagi manusia yang dilambangkan
dengan warna merah.
Selain
Debata Natolu ada juga dewa lain seperti Raja Odap-odap dan Nagapadohaniaji
yang diciptakan dari sahala ama dan Sahala ina. Selain para Debata tadi,
dalam kepercayaan agama Malim masih banyak ruh-ruh (tondi) yang berdiam di Banua Ginjang.
b. Penciptaan
Bumi
Setelah Debata
menciptakan Banua Ginjang dan semua
isinya, tahap berikutnya Debata menciptakan Banua
Tonga atau “bumi”. Penciptaanya adalah melalui putri Bataraguru yaitu
Deakparujar. Penciptaan Banua Tonga ini
merujuk pada mitologi Batak yang kemudian dijadikan kepercayaan dalam agama
Malim.
Mitologi tersebut
menceritakan bahwa Debata ingim menjodohkan Deakparujar dengan Raja Odap-odap,
namun Deakparujar menolak hal tersebut. Ia tidak mengatakannya secara langsung
melainkan dengan meminta tujuh gulungan kapas yang akan ia tenun menjadi ulos. Saat ulos tersebut selesai ditenun Deakparujar akan bersedia dinikahkan.
Namun pada kenyataannya Deakparujar tidak pernah mengerjakan penenunan kain
tersebut dengan benar. Saat ulos tersebut
akan jadi Deakparujar akan mengurainya lagi menjadi benang. Hal ini berlangsung
lama dan Debata menjadi marah.
Kemarahan ini memuncak
dengan Debata melempar benang milik Deakparujar kehalam rumah Bataradewa dan
jatuh hingga jauh ke dalam atau ke bawah. Deakparujar berusaha turun ke bawah
dan ia sampai ke pangkal tongkat Debata yang tertancap di air karena ikut
terjatuh bersama benangnya. Diatas tongkat tersebut Deakparujar merenungi kesalahannya.
Debata mengutus Sileangleangmandi untuk menjemput Deakparujar agar pulang ke Banua Ginjang. Namun Deakparujar
menolaknya dan meminta segenggam tanah kepada Debata untuk dijadikan hamparan
yang luas untuk tempat tinggalnya.
Dari segenggam tanah
tersebut Deakparujar menciptakan hamparan tanah di atas air. Ia melempar tanah
tersebuh berulang-ulang hingga menjadi daratan yang luas. Kemudian datang lagi
Sileangleangmandi untuk menjemput Deakparujar agar segera pulang namun kembali
ditolak. Penolakan ini membuat Debata mengutus Nagapadohaniaji untuk
menghancurkan tanah yang dibuat Deakparujar.
Tanah tersebut dua kali dihancurkan dengan gempa oleh Nagapadohaniaji.
Pada penciptaan tanah
yang ketiga Deakparujar menggunakan segulung
sirih masak (sirih selengkapnya), benang yang menyerupai rantai besi, dan
segenggam tanah. Sirih tersebut dimakan oleh Deakparujar yang membuat ia
semakin cantik, benang tadi digunakan untuk mengikat Nagapadohaniaji agar ia
tidak mengganggu pekerjaannya, dan tanah tadi kembali dibuat menjadi hamparan.
Tanah inilah yang disebut Banua Tonga atau
bumi.
Mitos penciptaan tanah
ini bagi agama Malim merupakan simbol yang menggambarkan bahwa diatas bumi
inilah awal kehidupan manusia sekaligus sebagai tempat mengabdi kepada Debata
sebelum kembali keharibaan-Nya kelak. Manusia harus bekerja keras di bumi agar
mendapat hidup yang layak seperti pesan Debata kepada Deakparujar.
c. Penciptaan
Manusia
Setelah hamparan tanah
yang dibuat Deakparujar berubah menjadi indah dan luas, Debata mengutus Raja
Odap-odap agar turun ke bumi untuk menemani Deakparujar yang menurutnya pasti
kesepian. Meski awalnya Deakparujar menolak namun akhirnya ia menerimanya.
Dalam perkawinan mereka Debata tidak bersedia turun untuk memberkati. Beberapa
waktu kemudian Deakparujar melahirkan bayinya. Namun bayi tersebut berwujud
benda “gumul” yaitu semacam “ketuban” atau “tembuni” yang terbungkus selaput
dan belum menjadi bayi.
Debata kemudian
memerintahkan Deakparujar untuk menanam bayinya di tanah yang telah ia ciptakan.
Tujuh hari tujuh malam kemudian bayi
tersebut pecah dan tumbuhlah berbagai macam tanaman yang memenuhi tanah-tanah
di bumi. Beberapa tahun kemudian Deakparujar kembali hamil dan melahrkan bayi
kembar laki-laki dan perempuan.
Bayi laki-laki diberi
nama raja lhat Manisia dan yang perempuan Boru lhat Manisia. Mereka berdua
adalah manusia pertama menurut agama Malim. Setelah mereka remaja mereka
diberkati menjadi suami istri oleh Debata Mulajadi Nabolon yang turun ke Banua Tonga bersama Bataraguru, Sorisohaliapan,
dan Balabulan. Dalam pemberkatan tersebut Debata menyampaikan dua ayat berupa
pesan (tona) kepada mereka berdua.
Dua ayat itu ialah: “na jadi dohot na so jadi” (yang boleh
dan tidak boleh dikerjakan). Maknanya mereka berdua diberi batas sebarang
amalan yang diperbolehkan dan yang dilarang (Ibrahim, 2010: 109). Debata juga
berpesan agar mereka memberikan sesaji yang bersih dan suci melalui ritual,
ibadah, atau upacara keagamaan untuk menjaga hubungan baik dengan para Debata
di Banua Ginjang. Debata juga
berpesan bahwa manusia tidak boleh memakan darah hewan, daging babi, dan
bangkai.
Setelah itu mereka
kembali ke Banua Ginjang dan ikut
pulang juga Raja Odap-odap dan Deakparujar. Setelah sanpai di Banua Ginjang, Raja Odap-odap
ditempatkan di matahari. Ia menyimbolkan seorang bapak yang memiliki sifat dan
watak keras. Sementara Deakparujar
berada di bulan dan ia simbol ibu yang berhati sejuk dan lembut.
d. Dunia
Masa Kini dan Dunia Masa Depan
Kepercayaan agama Malim
membagi dunia atau alam yang dilalui manusia menjadi dua, yaitu “dunia masa
kini” dan “dunia masa depan”. Dunia masa kini adalah suatu dunia yang sedang
dijalani manusia atau kehidupan duniawi. Sementara dunia masa depan merupakan
kehidupan setelah manusia mati atau kehidupan akhirat yang dalam agama Malim
disebut ari paruhuman (hari
pengadilan). Agama Malim meyakini bahwa kehidupan dunia adalah sementara
sedangkan kehidupan setelah mati adalah kekal.
Kehidupan manusia di
dunia tidak semata-mata untuk beraktivitas memenuhi kebutuhan dan kenikmatan
dunia. Melainkan juga untuk mencari bekal untuk kebahagiaan kehidupan ruhani
(tondi), karena kehidupan setelah mati pasti akan datang. Selain itu karena
selama di dunia manusia tidak lepas dari masalah, maka mereka diharuskan
berserah diri dan mengikuti aturan dari Debata.
Agama Malim mempercayai
bahwa sebelum manusia tiba di alam akhirat (ari paruhuman), maka setelah mati
terlebih dahulu ruhnya akan ditanyai oleh pesuruh Debata sebelum ia sampai di
dua tempat yang dituju setelah mati. Tempat tersebut adalah huta hamatean (neraka) dan huta hangoluan (surga). Meski tidak
dijelaskan secara pasti namun mereka meyakini bahwa manusia tidak dapat
mengelak dari hal tersebut.
Keyakinan akan adanya
akhirat ini bersumber dari salah satu bunyi doa-doa yang di dalamnya
menyiratkan masih adanya kehidupan setelah manusia mati dan kehidupan yang
dimaksud adalah “kehidupan ruh”. Bila diartikan doa-doa tersebut berbunyi
sebagai berikut (Ibrahim, 2010: 111)
“tidak bolehmempunyai
niat ataupun berperilaku yang dilarang oleh ajaran Debata. Manusia mempunyai
sesuatu pengharapan sepadan dengan kepatuhan mereka dalam mengamalkan ajaran
Debata. Mereka bakal mendapatkan kebahagiaan kehidupan ruh di Banua Ginjang
yang jelas berbeda kenikmatannya dibandingkan dengan yang ada di dunia sekarang”
Berkaitan dengan adanya
“hari pengadilan” juga agama Malim mengajarkan agar penganutnya mempercayai dan
mempersiapkan diri sebelum mati dan sebelum kiamat datang. Persiapan yang
dimaksud adalah dengan menuruti segala perintah Debata dan menjauhi segala
larangan-Nya serta memperbanyak amal kebajikan, bersyukur, memuji Debata sesuai
perintah Debata dan para Malim.
4.
Sistem
Kepercayaan Agama Malim
Agama Malim
memiliki kepercayaan kepada kuasa supernatural
yang disebut dengan nama tuhan Debata
Mulajadi Nabolon. Dia dianggap sebagai pencipta alam semesta sekaligus
tempat bergantung manusia. Selain itu Parmalim
juga percaya pada luasa supernatural lain
seperti Debata Natolu, Deakparujar,
Nagapadohaniaji, Saniangnaga, yang semuanya merupakan tuhan kecil karena
bertugas membantu Debata Mulajadi
Nabolon. Semua tuhan tersebut dalam agama Malim disebut “si pemilik kerajaan
Malim (partohap harajaon malim) di
Banua Ginjang.”
Dari sudut
teologi kepercayaan agama Malim dapat dikatakan berlapis-lapis. Pada satu sisi
kepercayaannya merupakan monoteisme karena hanya percaya kepada satu tuhan
pencipta yaitu Debata Mulajadi Nabolon. Tetapi
di sisi lain mereka juga mempercayai adanya tuhan-tuhan kecil yang membantu
sang Debata. Kepercayaan seperti ini
sebenarnya lebih dekat dengan kepercayaan yang berbentuk monolatry. Cirinya adalah mereka mempercayai adanya Tuhan Yang Maha
Esa sebagai pencipta alam semesta, dan juga mempercayai tuhan yang lain namun
doa-doa dan amalan tetap ditujukan pada dewa yang maha tinggi.
Kepercayaan lain yang
berkaitan dengan hal-hal supernatural
adalah habonaran. Ia adalah sejenis
ruh yang bertugas “membenarkan”, melindungi, dan memantau perilaku manusia di
dunia dan di akhirat menjadi saksi atas perbuatannya. Selain percaya pada unsur
supernatural, agama Malim juga
percaya pada utusan tuhan yang disebut malim
Debata. Mereka adalah Raja Uti, Simarimbulubosi, Raja Naopatpuluhopat, Raja
Sisingamangaraja, dan Raja Nasiakbagi. Mereka adalah manusia biasa yang
memiliki kelebihan di banding yang lain. Mereka disebut sebagai partohap harajaon malim (pemilik
kerajaan malim) di Banua Tonga (bumi). Namun saat ini agama Malim tidak lagi
dipimpin oleh seorang malim debata,
melinkan oleh seorang imam yang disebut ihutan
(yang diikuti). Dia menguasai seluk beluk agama Malim dan bertindak sebagai
imam dalam setiap upacara adat.
Kepercayaan lain agama
Malim adalah adanya sahala yang bisa
ada pada seorang manusia atas kehendak Debata. Sahala merupakan ciri khusus
dari tondi atau ruh. Orang yang
memiliki sahala akan menjadi lebih
berkarisma. Orang tersebut akan meiliki kepribadian dan perilaku yang baik,
serta wajahnya memancarkan sinar sahala sehingga
orang menghormatinya. Dalam kepercayaan agama Malim sahala tersebut bersumber dari tangan Bataraguru sehingga tidak
dapat dipelajari karena akan datang dengan sendirinya pada orang-orang suci.
Unsur penting lain
dalam kepercayaan agama Malim adalah upacara keagamaan/ ritual. Ritual tersebut
merupakan jalan untuk bertemu dengan kuasa supernatural
atau para debata. Ritual tersebut ada yang terjadwal dan tidak. Upacara
yang terjadwal dilakukan mingguan dan tahunan.
Upacara yang dialakukan
mingguan adalah mararisabtu yang
dilakukan pada hari ketujuh kalender Batak. Dalam mitos Batak, hari ketujuh
merupakan hari beristirahat bagi Deakparujar sehingga dijadikan hari beribadah.
Sementara upacara tahunan ada tiga, pertama upacara mangan na paet (memakan yang pahit). Ini merupakan upacara
penebusan dosa dan simbol untuk mengingat pengorbanan para malim debata. Hari berikutnya dilakukan upacara kedua, yaitu sipaha sada, yaitu upacara peringatan
kelahiran Simarimbulubosi. Pada upacara ini dikenang semua perjalanan hidup
Simarimbulubosi sejak lahir hingga diangkat kelangit. Upacara terakhir adalah sipaha lima, yaitu upacara untuk
menyampaikan rasa syukur pada debata atas berkah pertanian dan peternakan dari
mereka. Dalam upacara ini dikorbankan seekor kerbau sebagai sesaji sebelum
dibagikan pada keluarga besar parmalim.
Sedangkan upacara yang
tidak terjadwal dibagi dua, yaitu
upacara peralihan yang terdiri dari upacara martutuaek (kelahiran), mamasumasu
(perkawinan), dan pasahat tondi (kematian).
Kemudia upacara non peralihan terdiri dari manganggir
(pensucian), dan mardebata (sembah
Debata).
Dalam melaksanakan upacara, agama Malim selalu membaca doa
(tonggo) dan mempersembahkan sesaji. Dalam upacara tertentu juga ada
persembahan gendang dan tari (tortor). Bagi
agama Malim doa tersebut merupakan pemujaan dan ungkapan syukur pada Debata.
Persembahan sesaji merupakan bukti kesungguhan dalam mengabdi pada Debata.
Sedangkan gendang dan tarian adalah perantara dalam menyuarakan “gerak hati dan
jasmani” saat upacara.
Dalam agama Malim juga
ada konsep kudus dan profan baik dalam upacara maupun diluar upacara. Dalam
setiap upacara, sesaji dan peralatannya seperti mangkuk dianggap sebagai hal
suci dan harus diperlakukan dengan baik. Sementara diluar upacara, ada objek
yang dikuduskan karena adanya larangan. Misalnya seorang ibu yang baru
melahirkan dan masih dalam keadaan nifas maka tidak diizinkan memegang
peralatan upacara yang dianggap suci (na badia).
Selain itu ada juga masa suci yaitu pada hari
sabtu/ hari ketujuh. Pada hari tersebut penganut agama Malim hanya boleh
melakukan ritual keagamaan dan tidak boleh bekerja karena akan berdosa. Dan ada
juga tempat suci, yaitu semua tempat ibadah seperti Balai Pasogit Partonggoan
dan parsantian, yang hanya boleh
dimasuki saat upacara keagamaan.
5.
Pengaruh
Agama Lain terhadap Agama Malim
Jika diperhatikan lebih
dalam, dalam agama Malim ada berbagai aspek agama yang nampaknya merupakan
hasil pengaruh agama lain. Pengaruh yang cukup terlihat adalah dari agama
Hindu-Jawa dalam aspek kepercayaan dan upacara keagamaan. Penganut agama Malim
mempercayai adanya Bataraguru sebagai salah satu dewa kecil mereka, dan
Bataraguru merupakan salah satu dewa dalam agama Hindu-Jawa. Dalah hal upacara
keagamaan pengaruh ini nampak pada saat berdoa dimana semua orang harus
merapatkan kedua tangan seperti dalam agama Hindu. Selain itu kaum pria juga
harus mengenakan ikat kepala putih yang disebut “tali-tali”.
Agama lain yang
berpengaruh banyak pada agama Malim adalah Agama Islam. Pengaruhnya bahkan
lebih besar di banding pengaruh agama Hindu, terutama dalam penggunaan istilah
dan amalan. Dalam agama Malim terdapat istilah seperti “malim”, “solam/ marsolam”,
“parsahadatan”, dan “sidokka”. Semua istilah tersebut tidak
ada dalam perbendaharaan kata maupun kamus Bahasa Batak dan merupakan kata
serapan. Malim berarti orang yang
alim (ulama), solam/ marsolam berarti
menjaga yang berasal dari kata salam yang artinya selamat dan sejahtera.
Sedangkan parsahadatan berasal dari
kata syahadat yang kemudian dalam agama Malim diartikan sebagai janji,
penyerahan diri sebelum pelaksanaan “persembahan sesaji besar” pameleon bolon) pada upacara sipaha lima. Sedangkan sidokka berasal dari sedekah yang
kemudian diartikan “sumbangan kepada keluarga yang meninggal dunia” pada saat
upacara pasahat tondi.
Dalam hal amalan, parmalim melakukan penghormatan pada
orang yang meninggal dengan memandikan dan mengkafani mayat. Padahal dalam
budaya suku Batak hal tersebut tidak ada, dan amalan ini menjadi hal wajib
sejak masa Raja Nasiakbagi. Sang raja juga melarang adanya budaya “meratapi”
dan menari (manortor) di hadapan si
mayat. Padahal budaya ini merupakan salah satu identitas suku Batak, terutama
bila yang meninggal adalah orang yang sudah lanjut usia (saurmatua) maka hal ini wajib dilakukan oleh keluarga dan akan ada
hujatan dari masyarakat bila tidak dilakukan. Dihilangkannya budaya yang sangat
kental dalam suku Batak ini semakin menguatkan dugaan adanya pengaruh Islam.
Selain itu ajaran Malim juga melarang umatnya memakan darah, babi, dan bangkai.
Pengaruh Islam ini
mulai masuk adalah pada masa Raja Sisingamangaraja XII, karena pada masanya
sebagian prajurit (parhudamdam)
dilatih oleh laskar-laskar Aceh yang semuanya beragama Islam. Sejak itu budaya
Islam mulai masuk ke suku Batak. Contoh yang dapat dilihat adalah adanya
tulisan Arab dan penanggalan dengan tahun Hijriah pada stempel kerajaan
Sisingamangaraja.
KESIMPULAN
Sebelum muncul Agama
Malim suku Batak telah memiliki kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa yang
disebut Debata Mulajadi Nabolon. Mereka
telah melakukan berbagai amalan keagamaan sebagai upaya berhubungan dengan kuasa
supernatural. Pada masa Raja
Nasiakbagi barulah kepercayaan ini disebut Agama Malim. Agama ini muncul juga
sebagai bentuk penolakan pada agama pendatang seperti Islam dan Kristen.
Agama Malim memiliki
pandangan kosmologi dimana alam semesta dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu
Banua Ginjang, Banua Tonga, Banua Toru. Debata
juga melakukan penciptaan sahala ama dan
sahala ini,yang dari mereka diciptakan banyak tuhan kecil. Kepercayaan ini
berasal dari mitologi Batak.
Kepercayaan pada kuasa supernatural merupakan asas dalam agama
Malim. Mereka disebut dengan “si pemilik
kerajaan Malim (partohap harajaon malim)
di Banua Ginjang.” Parmalim juga
mempercayai adanya para utusan Debata yang membawa agama Malim ke tanah Batak (malim Debata). Mereka adalah Raja Uti,
Simarimbulubosi, Raja Naopatpuluhopat, Raja Sisingamangaraja, dan Raja
Nasiakbagi.
Ajaran agama Malim
dibagi menjadi dua, yaitu ajaran yang mengatur hubungan manusia dengan Debata
yang diwujudkan dalam upacara keagamaan. Juga ajaran yang mengatur hubungan
sesama manusia, misalnya tentang kemanusiaan, larangan, perintah, dan
lain-lain. Ajaran tersebut termuat dalam tona,
poda, patik, dan uhum.Selain
ajaran, agama Malim juga memiliki banyak ritual sebagai sarana berkomunikasi
dengan debata. Ada dua kelompok upacara agama Malim, yaitu yang terjadwal dan
tidak terjadwal. Dalam setiap upacara disertai pembacaan doa-doa dan persembahan
sesaji.
Berbagai unsur ajaran
dalam Agama Malim juga mendapat pengaruh dari agama lain. Dalam hal kepercayaan
banyak dipengaruhi agama Hindu-Jawa. Sementara dalam hal upacara lebih
didominasi pengaruh agama Islam.
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan berikan kritik dan saran anda :)